Kenangan 14
Januari
Kemerdekaan Beralas Nyeri
By:
Shofa Fikriyah N
Namaku Laila, aku tinggal di Desa Haruwangsi yang
memiliki berjuta macam rempah-rempah didalamnya. Karena itu desaku ini pernah
mengalami betapa pahitnya dijajah oleh bangsa Belanda dan kehilangan seluruh
hak kami sebagai manusia. Namun kami dapat mencapai kemerdekaan desa kami,
yaitu pada tanggal 14 Januari 1914. Tentunya semua orang bahagia karena dapat
hidup bebas layaknya manusia yang seharusnya, begitu pula aku, tapi bintang
yang selalu menerangi kegelapan malam kini sudah lenyap, dan hal inilah yang
selalu mengganjalku untuk tersenyum. Biarkanlah aku ceritakan kembali bagaimana
menusuknya rasa sakit yang mengganjal senyumku ini.
Ini semua berawal dari kedatangan para pedagang Eropa yang
tergiur akan kekayaan desa kami. Awalnya mereka sangat ramah terhadap kami, dan
kami pun membalasnya dengan hal yang sama karena permintaan mereka masih dapat
diterima. Keluargaku memiliki kebun rempah-rempah yang terbilang sangat luas
dan karena itulah beberapa pedagang Belanda ingin bekerja sama dengan
keluargaku.
Bapak : “Ada yang bisa saya
bantu tuan?”
Orang Belanda : “Ahh.. ini,
saya lihat rempah-rempah yang anda jual berkualitas baik”
Bapak : “Ohh
terimakasih”
Orang Belanda : “Saya akan
membeli banyak untuk dibawa dan dijual kembali di
Belanda, kira-kira berapa harganya?”
Bapak : “Jika
memang tuan akan membeli banyak, harga bisa
dipertimbangkan
kembali”
Orang Belanda : “Baiklah,
berjanjilah rempah-rempah yang terlihat segar ini tidak
akan membohongi saya”
Bapak : “Tentu
saja tuan, ini benar-benar berkualitas baik, tuan tidak akan
kecewa”
Orang Belanda : “Kalau begitu,
setiap bulannya saya akan mengirim orang kesini
untuk membawa rempah-rempah dari ada dan uangnya akan saya
kirim beserta
mereka”
Bapak : “Baiklah
tuan, saya akan mempersiapkan rempah-rempah yang
terbaik untuk anda”
Orang Belanda : “Ngomong-ngomong
putri anda cantik juga, siapa namanya?”
Bapak : “Ohh..
terimakasih, namanya Laila. Ada yang bisa saya bantu lagi
tuan?”
Orang Belanda : “Tidak, saya
tunggu rempah-rempah anda yang terbaik. Sampai
jumpa”
Bapak : “Baiklah”
Namun
dengan berlalunya waktu, keramahan mereka pun berlalu dan kini mereka selalu
membeli rempah-rempah dengan jumlah yang tak wajar dan dengan harga yang tak
pantas. Tentu itu membuat kami tersinggung, dan memutuskan kerjasama dengan
mereka.
Bapak :
“Semuanya telah diangkut kedalam kapal tuan”
Orang Belanda : “Ahh ya, ini
uangnya”
Bapak : “Maaf,
tapi ini kurang dari harga yang dijanjikan sebelumnya”
Orang Belanda : “Hanya itu yang
diberikan atasanku, jadi terimalah”
Bapak : “Mohon
maaf sebelumnya, tapi ini sudah melanggar janji”
Orang Belanda : “Sudahlah ambil
saja, itu lebih baik daripada kami tidak membayar
sama sekali”
Bapak : “Ya
sudah. Tapi tuan tolong sampaikan kepada atasan anda bahwa
saya ingin menghentikan pengiriman rempah-rempah ini, saya ingin
memutuskan hubungan kerjasama”
Orang Belanda : “Hanya karena
uang pembayarannya kurung? Itu saja? Sudahlah, itu
bukan urusanku”
Namun
sepertinya mereka tak terima, beberapa minggu seteleah kejadian itu mereka
kembali dengan menggunakan lebih dari 10 kapal dan beratus pasukan untuk
menyerbu desa kami. Mereka mengambil semua berkas-berkas kepemilikan tanah dan
harta warga, dan jika ada yang menolak, mereka tidak segan-segan untuk
menghabisi nyawa orang kecil seperti kami.
Kolonel Belanda : “Sekarang cepat paksa para pemilik
tanah perkebunan untuk
menyerahkan tanah mereka, jika ada
yang menolak habisi saja!”
Tentara Belanda : “Baik!”
Kolonel Belanda : “Mungkin aku
bisa saja kehilanga hubungan kerjasama tapi aku tidak
akan tanah yang kaya dengan rempah-rempah ini. Semuanya akan
menjadi milikku”
Orang
tua dan beberapa anggota keluargaku tewas akibat kejadian itu, untungnya aku
masih memiliki seorang pelindung, yaitu pria bernama Herman yang
menyelamatkanku saat itu. Dimataku ia adalah pria yang gagah, pemberani,
cerdik, pekerja keras, dan tentunya ia sangat tampan karena itulah salah satu
alasan aku menjadi kekasihnya.
Herman : “Hey! Kau mau kemana?
Jangan kesitu! Jangan masuk ke rumah
itu!”
Laila :
“Kenapa? Tapi itu adalah rumahku”
Herman : “Aku bilang
jangan, kemarilah! Kemari!”
Laila :
“Memangnya kenapa sih?”
Herman : “Rumahmu
sedang didatangi tamu”
Laila : “Tamu?
Siapa?”
Herman : “Kau ini,
lihat saja! Sekarang rumahmu sedang dipenuhi oleh tentara
Belanda.
Jika kau masuk ke dalam sana kau akan mati!”
Laila : “Apa?!
Orang tuaku! Orang tuaku ada di dalam sana, aku harus
menyelamatkan mereka”
Herman : “Jangan sok
jadi pahlawan! Yang ada kau juga akan ikut mati”
Laila : “Mati?
Jadi orang tuaku akan mati? Ahh! Bagaimana ini?”
Herman : “Diam!
Bisakah kau diam!”
Laila : “Tapi
orang tuaku akan mati”
Herman : “Kau pikir
orang tuamu saja? Banyak juga warga lain mati
karena
memperahankan tanah mereka! Termasuk orang tuaku..”
Laila : “Ahh..
maaf”
Herman : “Ini bukan
waktunya untuk meminta maaf, kita harus bertahan hidup
untuk
mempertahankan desa kita ini”
Laila : “Ya”
Semenjak
semua harta kekayaan kami dirampas oleh Belanda, kami semua hidup sebagai budak
yang harus mengolah kebun kami sendiri tanpa pernah merasakan hasilnya
sedikitpun. Dan aku juga telah kehilangan hampir seluruh anggota keluargaku,
bohong jika aku tidak sedih saat ini, tapi Herman selalu membuatku larut dalam
tawanya dan melemparkan jauh-jauh kesedihanku.
Laila : “Aku prihatin
melihat desa kita yang sekarang ini”
Herman : “Sudahlah
jangan pikirkan itu, kau sudah menyelesaikan tugasmu?”
Laila : “Sudah,
hhh.. aku rindu orang tuaku”
Herman : “Lupakanlah
kesedihan itu, lagipula ada yang lebih pantas untuk
kamu rindukan?”
Laila :
“Memangnya ada? Apa?”
Herman : “Ahh
pura-pura gak tau.. ini, pahlawan kamu yang gantengnya ga
ketulungan hehhehe”
Laila :
“Pahlawan? Ganteng?”
Herman : “Yup!”
Laila : “Iya..
pahlawan kesiangan yang gr nya gaketulungan”
Herman : “Bukanya
kesiangan, cuman mataharinya aja ada janji sama ikan-ikan
dilaut, jadi cepet-cepet tenggelam”
Laila : “Terus
ngapain pas lagi nolongin aku kamu malah diam dipohon
terus, bukannya ngelawan tentara Belanda itu?”
Herman : “Lagi ada
rapat sama semut-semut dipohon aja hehhehe”
Banyak
warga yang mencoba untuk melawan kepada Belanda, tapi mautlah yang mereka terima.
Herman adalah salah seorang yang ingin memberontak dan mencapai cita-citanya
untuk mengambil kembali kejayaan Desa Haruwangsi, tapi aku selalu melarangnya
karena aku takut kehilangan satu-satunya orang yang aku miliki sekararang.
Bodohnya ia selalu menuruti perkataanku dan menunda cita-citanya itu, tapi aku
tahu bahwa ia sedang merencanakan 1001 strategi dibalik tawa leganya itu. Suatu
saat, saat kami telah menyelesaikan semua tugas, kami beristirahat dibawah
gemerlapnya bintang, seakan-akan bitang-bintang itu sedang membuat pertunjukan
untuk menghibur kami dari perasaan yang menyiksa fisik dan batin ini. Melihat
bintang-bintang berkelap-kelip menghiasi hitamnya langit malam merupakan
rutinitas kami yang tak pernah terlewatkan.
Laila : “Man, aku denger hari
ini ada tiga orang yang dibunuh hanya
gara-gara
minta jatah makanan yang kurang”
Herman : “Ya, aku
lihat kejadian itu dengan mata kepala aku sendiri”
Laila : “Belada
itu kejam sekali ya, kapan kita akan bebas dari penjajahan
ini”
Herman : “Ahh kamu
ini ngeluh terus, tapi kalau aku bilang mau ngerebut
kemerdekaan dan mengusir penjajah kamu malah ngelarang”
Laila : “Yaialah
aku ngelarang, emangnya kamu bisa ngalahin
tentara-tentara yang jumlahnya ratusan itu? Yang ada kamu mati”
Herman : “La kamu
belum tau ya seberapa cerdiknya pacarmu yang ganteng
ini”
Laila : “Emangnya
secerdik apa sihh?”
Herman : “Otak aku
ini 74 karat tau”
Laila : “Hhhh..
emangnya emas, eh aku rasa bintangnya kurang dari biasanya
deh”
Herman : “Yailah
kurang”
Laila : “Kamu
tau kenapa? Apa karena cuaca?”
Herman : “Orang
bintangnya ada disini.. aku adalah bintangmu Laila hahhaha”
Laila : “Bener sih.
Ngomong-ngomong, bintang itu kayak kemerdekaan yah,
sangat susah untuk kita raih”
Herman : “Kalau
untuk kamu apa yang enggak sihh La.. aku akan meraih
bintang itu untuk kamu. Aku janji”
Laila : “Aku
pegang janji kamu, tapi kalau enggak bisa juga gapapa kok,
asalkan kamu ada disisi aku dan terus menjagaku”
Herman : “Emangnya
aku satpam apa”
Laila : “Iya..
kamu kan suka diem di poskamling deket rumah aku, jadi kamu
satpamnya aku”
Herman : “Okey deh,
aku pasrah. Tapi kamu juga harus bisa jaga diri kamu
sendiri ya La, jangan tergantung sama aku terus”
Laila : “Ngapain
gantung-gantung, kayak monyet aja”
Herman : “Aku serius
La”
Laila : “Iya”
Akhir-akhir
ini pihak Belanda jarang sekali memeriksa kami saat bekerja, dan kesempatan ini
dipergunakan Herman untuk menerapkan strateginya, salah satunya adalah
membentuk suatu pasukan untuk sewaktu-waktu menyerang Belanda.
Herman : “Hey kawan-kawan, saya
rasa tentara Belanda tidak akan datang hari
ini.
Ini kesempatan kita untuk melawan, ayo ikut aku untuk
membuat
strategi”
Warga : “Kau
yakin dengan tindakanmu ini? Kau tidak takut mati?”
Herman : “Tentu saja
aku yakin, untuk apa aku takut mati? Lagipula semua
orang
juga akan mati”
Warga : “Memangnya
kau punya strategi apa Man?”
Herman : “Aku akan
menerapkan strategi grilya”
Warga : “Grilya?”
Herman : “Iya,
strategi menyerang dengan sembunyi-sembunyi”
Warga : “Oh
begitu, tolong jelaskan kepada kami secara lebih rinci”
Herman : “Baiklah.
Begini.. pertama-tama kita bentuk dulu suatu pasukan
untuk
menyerang tentara Belanda, kita jadikan saja gubuk ini
sebagai
markas tetap untuk membicarakan strategi penyerangan.
Dan
mengenai strategi, kita menyerang dengan sembunyi-sembunyi
jika pihak lawan sedang lemah kita segera
menyerbu dan
menyerangnya
dan jika mereka sudah melawan kita melarikan diri
dan
bersembunyi. Bagaimana?”
Warga : “Itu
strategi yang sangat hebat, tapi siapa saja yang akan ikut dalam
pasukan
penyeragan ini?”
Herman : “Tentunya
semua pria yang masih dapat melakukan penyerangan”
Warga : “Baiklah,
kami akan segera mengumpulkan semua pria yang dapat
membantu”
Herman : “Terimakasih
atas partisipasi kalian semua”
Warga : “Sama-sama,
ini juga untuk kejayaan desa kita semua, Desa
Haruwangsi! Tapi kapan kita akan mulai aksi penyerangan ini?”
Herman : “Tentunya
kita harus menyerang disaat mereka lengah, tapi kapan ya?
Ahh sebentar lagi kan tahun baru, bukannya Belanda termasuk
negara
yang menganut tradisi merayakan tahun baru? Jadi mereka
akan
pulang ke negara mereka bukan?”
Warga : “Iya kau
benar Man, tapi pasti pertahanan mereka tetap ketat. Mereka
kan
benar-benar kuat”
Herman : “Itu bukan
masalah, yang pasti jumlah tentara mereka akan
berkurang”
Warga : “Baiklah
jadi kita menyerang mereka saat tahun baru?”
Herman : “Ya, pada
malam tahun baru kita berkumpul dimarkas ini dengan
membawa
senjata apapun yang kita miliki”
Warga : “Baiklah”
Pada
malam tahun baru, pasukannya pun siap untuk menyerang dan berusaha mengambil
alih beberapa markas rampasan Belanda.
Herman : “Semuanya sudah siap
kan? Lihatlah! Markas Belanda terlihat sepi
sekarang, ayo kita gunakan kesempatan ini. Kalian menyerang dari
arah timur, jika kalian menyerang dari arah barat, sedangkan kalian
menyerang dari arah selatan, dan sisanya menyerang dari arah utara
bersamaku”
Warga : “Baik”
Dan
dengan menggunakan strategi griliya yang telah ia rencanakan, ia pun berhasil
mengambil 4 dari 10 daerah yang diduduki Belanda dan mengambil harta warga
serta persenjataan Belanda yang kemudian harta itu dibagikan kepada warga
secara diam-diam.
Beberapa tentara Belanda yang selamat mencoba memberitahu
daerah pusat agar bersiaga, tapi pesan itu tidak pernah sampai karena ada
pasukan Herman yang membunuh tentara tersebut.
Warga : “Berhenti! Jangan
harap kau bisa lari”
Tentara Belanda : “Siapa kalian?
Apa yang kalian inginkan”
Warga : “Siapa
kami? Saya rasa anda sudah tau siapa kami, kami adalah
orang-orang
yang kalia jajah selama ini. Dan yang kami inginkan
adalah
kemerdekaan, tapi kau tidak bisa memberikannya bukan?
Oleh karena
itu biarkan kami meraihnya dengan usaha kami sendiri”
Tentara Belada : “Jadi kalian
adalah warga Desa Haruwangsi? Aku akan melaporkan
kalian
pada atasanku agar segera menghabisi nyawa kalian”
Warga : “Itu
takkan terjadi karena kami yang akan menghabisi kamu duluan”
Berhari-hari pasukan yang dipimpin Herman terus melakukan
strategi tersebut dan lagi-lagi berhasil merebut beberapa markas Belanda.
Suatu hari tiba-tiba hatiku terasa begitu gelisah, aku
benar-benar tidak tenang, padahal hanya beberapa langkah lagi desaku akan ku
dapatkan kembali. Ini benar-benar menggangguku, dan aku putuskan untuk
berbicara kepada Herman agar berhati-hati.
Laila : “Man, kenapa hati
aku ga enak ya?”
Herman : “Hati kamu
masuk angin kali La”
Laila : “Aduh
Man.. sekarang ini bukan waktunya untuk bercanda.
Aku takut akan terjadi apa-apa, kamu hati-hati ya”
Herman : “Iya-iya
aku akan berhati-hati”
Laila : “Herman..
haruskah kau lakukan penyerangan lagi malam ini? Tidak
bisakah
beristirahat dulu?”
Herman : “Ada apa
denganmu? Hanya dengan sedikit langkah lagi kita akan
mencapai
tujuan kita, kita akan meraih kemerdekaan kita La”
Laila : “Jujur
saja.. aku rindu saat kau selalu disisiku, aku rindu kau yang
selalu
meluangkan waktumu untukku”
Herman : “Ayolah La
jangan bersikap egois, aku masih tetap aku yang dulu”
Laila : “Kau
berbeda, kau selalu sibuk dengan pasukanmu dan kau selalu
menghabiskan
waktumu di markasmu itu. Apa kamu tak
menganggapku
lagi Man? Apa kamu tidak sayang lagi padaku?”
Herman : “Aku sayang
kamu La. Ini untuk kita semua La, untuk kemerdekaan
Desa
Haruwangsi”
Laila : “Aku
tahu Man, aku tau! Aku hanya takut kehilanganmu, kamu tak
pernah mengerti rasa
takutku itu, aku takut Man.. aku takut..”
Herman : “Aku tahu..
aku mengerti kamu La, percayalah La aku akan baik-baik
saja..
percayalah..”
Laila : “Kau
harus pergi bukan? Pergilah.. dan raih cita-citamu”
Herman : “Percayalah
bahwa aku akan selalu ada disisimu.. hatiku selalu
milikmu
La, aku sayang kamu La”
Laila : “Aku
juga Man, hati-hati ya.. jagi dirimu baik-baik”
Herman : “Ya”
Herman dan pasukannya pun bergegas untuk mengambil alih
markas-markas jajahan Belanda yang tersisa, tapi kecuali markas pusat, Herman
merasa sekarang bukan saat yang tepat dan strateginya belum matang.
Herman : “Sekarang target kita
adalah semua markas yang tersisa, tapi kecuali
markas
pusat”
Warga : “Meangnya
kenapa Man?”
Herman : “Aku rasa
sekarang bukan waktu yang tepat, jangan gegabah,
tunggulah
waktu yang tepat. Dan aku rasa markas pusat jauh lebih
kuta
daripada markas lainnya, jadi banyak persiapan yang perlu kita
persiapkan
kembali”
Warga : “Ya, kau
benar Herman”
Herman : “Sekarang
saatnya, ayo kita serbu markas-markas itu”
Warga : “Ayo!”
Dan
ternyata dugaaku salah, Herman dan pasukannya pulang dengan selamat dan
berhasil menguasai markas Belanda lainnya. Dan begitupula dengan Herman,
dugaannya untuk tidak menyerbu markas pusat Belanda juga salah. Malam itu juga
pimpinan Belanda mendengar kabar mencengangkan bahwa ada pemberontakan dari
rakyat dan itu telah berlangsung lama. Mengetahui hal itu Belanda geram dan
segera membuat rencana.
Tentara Belanda : “Kolonel, saya kemari membawa kabar
buruk”
Kolonel Belanda : “Kabar buruk?
Kabar buruk apa yang membuat kau tergesa-gesa
seperti ini?”
Tentara Belanda : “Warga Desa
memberontak melawan kita”
Kolonel Belanda : “Memangnya
sebanyak apa jumlah mereka? Bunuh saja mereka, utus
tentara
dari markas terdekat”
Tentara Belanda : “Tapi, semua
markas kita telah ditaklukkan oleh mereka”
Kolonel Belanda : “Apa?! Bagaimana
bisa? Mereka hanya rakyat kecil, bagaimana bisa
mereka melumpuhkan 10 markas kita dalam waktu semalam?”
Tentara Belanda : “Bukan dalam
waktu semalam Pak, mereka sudah memberontak sejak
beberapa hari lalu”
Kolonel Belanda : “Jadi
pemberontaka itu sudah berlangsung lama?! Bagaimana bisa?
Kenapa kalian semua tak memberitahuku?”
Tentara Belanda : “Kami sudah
berusaha Pak, tapi itu tidak berhasil karena selalu
dihalangi oleh mereka, dan
akhirnya kami dapat memberitahu Bapak
sekarang”
Kolonel Belanda : “Kalian
dikalahkan oleh rakyat kecil seperti mereka? Kalian benar
benar payah!”
Tentara Belanda : “Maafkan kami
Pak, kami berjanji tidak akan mengulangi kesalahan
ini lagi”
Kolonel Belanda : “Sudahlah,
sekarang utus semua tentara yang tersisa untuk
menghabisi warga-warga sialan itu!”
Tentara Belanda : “Baiklah Pak”
Kolonel Belanda : “Cepat pergi!”
Herman
dan pasukannya memutuskan untuk membuat strategi baru di markas rahasia mereka
malam itu.
Herman : “Baiklah, agar
kemenangan segera kita raih, kita juga harus segera
membuat strategi baru yang lebih kuat untuk melawan markas
pusat”
Warga : “Ya. Jika
boleh aku memberi usul, menurutku strategi yang
sebelumnya benar-benar
sangat efektif jadi sebaiknya kita hanya
tinggal menambahkan beberapa strategi lagi untuk memperkuat
strategi ini”
Herman : “Ya, kau
benar. Kita hanya butuh menambahkannya. Ahh aku
menemukannya,
agar lebih mudah lebih baik kita menyerang
Belanda
dengan diam-diam tidak langsung menyerbu seperti waktu
itu,
jadi mereka tidak sempat untuk melawan serangan kita”
Warga : “Ya, kau
hebat sekali Herman”
Herman : “Terimakasih.
Sepertinya malam sudah semakin larut, lebih baik kita
semua kembali ke kediaman masing-masing untuk
beristirahat dan
mengumpulkan energi untuk penyerangan puncak besok”
Warga : “Ya, ayo
kita kembali”
Herman : “Ayo semuanya
bergegas”
Dan
malam itu juga Belanda bertindak, yaitu dengan
membantai warga-warga Desa Haruwangsi. Mereka tidak segan-segan untuk membunuh
orang-orang yang dianggap berkhianat. Kecuali para wanita yang menarik
perhatian mereka, mereka akan membawanya ke markas mereka untuk dijadikan
pelayan. Termasuk aku.
Kolonel Belanda : “Cepat bunuh semua warga yang
mencurigakan, dan bawa warga
lainnya ke penjara bawah tanah! Eh kecuali gadis-gadis cantik, bawa
mereka ke markas”
Tentara Belanda : “Baik Pak”
Saat
Herman dan pasukannya kembali ke desa untuk beristirahat, betapa tercenganya
mereka melihat kondisi desa yang kacau balau dengan mayat-mayat warga yang
memenuhi setiap sudut desa. Tanpa berpikir panjang Herman segera berlari menuju
kediaman Laila, berharap orang yang ia cintai masih menunggunya di kediaman
yang kumuh itu. Namun apadaya, semua harapannya sirna saat melihat
barang-barang yang berserakan dimana-mana. Ia yakin ada hal buruk yang telah
terjadi, dan hal itu telah menimpa orang yang sangat dikasihinya itu.
Dengan
kemarahan yang menguasai tubuhnya saat
ini, Herman segera mengumpulkan pasukannya, berharap ia masih memiliki waktu
untuk merebut kembali kebahagiaannya. Tanpa membuang waktu mereka pun bergegas
menuju markas pusat Belanda, dengan gagah berani dan dengan disertai semangat yang membara mereka menerobos
pertahanan pihak Belanda.
Herman : “Kita sudah cukup
menderita selama ini, ini tidak boleh berlanjut dan
menjadi lebih parah. Oleh karena itu kita harus menegakan
kebenaran dan meruntuhkan ketidak adilan. Jangan membuang
buang waktu lagi, ayo kita meraih kejayaan kita! Maju! Serang!!”
Setelah
mengalahkan para tentara Belanda, mereka pun bergegas mencari anggota keluarga
mereka dan warga-warga lainnya untuk diselamatkan. Hampir seluruh warga
berhasil diselamatkan, dan semua berkas berhasil mereka rebut kembali.
Herman : “Semuanya sudah
diselamatkan? Dimana Laila?”
Warga : “Saya
rasa semuanya sudah berkumpul, kecuali Laila, kami belum
melihatnya”
Herman : “Kalau
begitu saya akan terus mencari Laila, sementara kalian
kembalilah
ke desa. Pertahankanlah desa kita”
Berpuluh-puluh
ruangan telah Herman lewati, beribu-ribu anak tangga telah ia pijaki, lorong
yang berkelok-kelok pun telah ia susuri, banyak wanita yang telah ia temui,
tapi sang pujaan hati tak kunjung menampakan batang hidungnya. Kegelisahan
mulai menusuk jantungnya, prasangka buruk mulai mengitari kepalanya, rasanya
sudah tak ada lagi tenaga yang tersisa, tak ada lagi semangat yang membara,
yang ada hanyalah hati yang merana.
Tiba-tiba ia mendengar
suara jeritan, suara anggun yang sudah tak asing lagi ditelinganya. Laila,
jeritan itu milik Laila, tunggu aku La, sebentar lagi, hanya sebentar, tunggu
aku La dalam hati ia terus berkata seperti itu. Jeritan itulah yang membuat
Herman bangkit kembali, walaupun hanya ada setitik harapan, tak sedetik pun ia
lewatkan. Ia segera berlari tergopoh-gopoh menuju sumber suara, hingga ia
menemukan suatu ruangan yang sangat tak terawat, namun ia temukan permata di dalamnya, permata jiwanya, yang
selalu ada dalam hati dan pikirannya, permata yang sedaritadi ia cari, kini
permata itu sedang terduduk tak berdaya. Hatinya seakan berteriak menyebut nama
orang yang ia sayangi itu.
Herman : “Laila!”
Laila :
“Herman.. akhirnya kau datang juga”
Herman : “Aku pasti
datang untuk mu La, kau baik-baik saja kan?”
Laila : “Iya
aku baik-baik saja karena kau disini”
Herman segera menghampiriku dan melepaskan semua
ikatan yang menjerat tubuhku, namun tiba-tiba aku melihat sesosok pria jangkung
menerkam Herman dari belakang. Tentu saja hal itu membuatku berteriak histeris
tanpa henti, bagaimana tidak kini belati yang teramat tajam itu telah menembus
punggung kekasih yang aku cintai. Sembari menahan tubuh orang Belanda yang tak kukenal
itu, dan dengan suara menahan
rasa sakit Herman menyuruhku meninggalkannya dan meneruskan tujuannya,
bagaimana bisa aku meninggalkannya hanya untuk suatu tujuan, sementara tujuan
hidupku hanya untuk kebahagiannmu Herman.
Laila : “Aaaaaaaaa!!!!
Herman!!”
Herman : “Pergi La..
Pergilah..”
Laila :
“Herman..”
Herman : “Pergilah..
selamatkan dirimu.. selamatkan desa kita..”
Laila :
“Herman.. bagaimana bisa aku pergi meninggalkanmu?”
Herman : “Pergilah..
aku baik-baik saja”
Laila :
“Herman..”
Herman : “Aku bilang
pergi! Jika tidak aku akan membenci diriku sendiri
seamanya
karena tidak bisa melindungimu.. Cepat pergi! Pergilah
dan
bangkitkan kejayaan desa kita, lanjutkan tujuanku La”
Laila : “Tidak
akan, aku tidak akan meninggalkanmu Man”
Herman : “Ini
permintaanku yang terakhir La, selamatkan dirimu dan desa kita
La”
Laila : “Jangan
bicara begitu Man! Keinginan ku hanya bersamamu, tidak
yang lain.. aku mencintaimu Man”
Herman : “Aku mohon,
ini permintaanku La karena aku sangat mencintaimu.
Jika kau ingin
aku bahagia, pergilah.. pergilah..”
Laila :
“Baiklah jika itu yang kau inginkan, aku akan pergi. Bukan untuk
meninggalkanmu, tapi untuk mencari pertolongan. Tunggu aku.. aku
menyayangimu Herman”
Laila pun bergegas pergi.
Herman : “Aku juga
menyayangimu.. semoga aku masih bisa bertahan untuk
menantimu La”
Dengan kekuatan yang tersisa
Herman mencoba mencabut belati yang bersarang dipunggungnya, dan
menghempaskannya ke tubuh orang Belanda itu. Kini darah mengalir dari tubuh
keduanya, hanya mautlah yang ada dihadapan mereka saat ini. Disaat-saat
terakhirnya, Herman hanya ditemani rasa sakit yang mahadahsyat yang sedaritadi
menggerogoti tubuhnya. Kini dipikirannya hanya terlintas satu nama, Laila, memori
indahnya bersama Laila kini memenuhi pikirannya, kini ia tak bisa melindungi
wanita itu lagi.
Herman : “Laila.. saat aku bertemu
denganmu hatiku membeku, aku
mencintaimu,
dan aku bahagia.. sepertinya aku terlahir sebagai
priamu
dan mencintaimu tanpa henti.. aku sudah mencoba menahan
air mata ini tapi seakan hujan merasuki
mataku air mataku mengalir
begitu
cepat.. aku mengingat semua kenangan kita.. kenangan yang
kita
lewati bersama.. kebahagiaan ini takkan pernah berakhir,
bahkan
rasa sakit ini terus menusuk.. kini kenangan itu berlalulalang
dalam
pikiranku seperti angin dan sepertinya ini akan menghilang
seperti angin pula..
tapi La aku mohon jangan lupakan kenangan
yang
sudah kau buat denganku.. bagaimanapun aku bahagia, aku
bahagia
karena telah dipertemukan denganmu dan diizinkan untuk
memilikimu..
aku sudah menjagamu semampuku, bahkan aku terlalu
protektif
terhadapmu.. tapi sekarang kau bebas, kau bebas mencari
kebahagianmu..
tapi jangan lupa untuk menjaga dirimu baik-baik..
jika
diperbolehkan, aku ingin terus memperhatikanmu dari atas
sana..
jangan menangis hanya karena aku La.. kau harus tetap hidup
dan berbahagia.. dan bagaimanapun aku akan selalu mencintaimu
La.. aku pergi bukan berarti cintaku juga pergi, cintaku akan selalu
bersamamu La..”
Setelah meninggalkan ruangan
itu aku pun segera bergegas menuju desa,
tapi tak ada satupun yang dapat menolong sementara waktu terus berlalu. Pada
akhirnya semuanya selamat kecuali Herman pahlawanku, desaku merdeka tak seperti
hati kecilku yang merana ditinggalkan oleh satu-satunya pria yang menghuninya.
Laila : “Man.. maaf kan aku,
aku yakin kau kecewa padaku.. maafkan aku
karena tak bisa menolongmu.. tapi kau perlu tau bahwa aku
mencintaimu..”
Esok
harinya, beberapa warga kembali memasuki bangunan bekas pusat markas penjajah
Belanda untuk menyelamatkan warga-warga yang gugur malam itu, termasuk Herman.
Saat melihat tubuh Herman yang terbujur kaku, aku tak dapat menahan air mata
ini lagi yang sedaritadi memaksa menerobos untuk keluar, bahkan aku tak kuasa
untuk menahan tubuhku lagi, aku hanya bisa terkulai lemas disamping tempat
peristirahatannya yang terakhir.
Laila :
“Maafkan aku.. maaf kan aku karena tidak bisa menolongmu disaat
saat
terakhirmu.. aku memang tidak berguna untukmu, aku hanya
mempersulitmu..
tapi meninggalkanku sendiri di dunia ini.. itu
keterlaluan
Man.. Kau jahat Man.. kau jahat! Kenapa kau
meninggalkanku
sendiri? Sementara kau tahu aku sangat
membutuhkanmu
Man.. sekarang aku tidak tahu bagaimana caranya
hidup
tapamu, ini sangat sulit kau tahu? Aku terbiasa akan kau yang
selalu
ada disisiku.. kau yang selalu melindungiku.. kau yang selalu
menghiburku..
dan kau yang selalu memberikan seluruh kasih
sayangmu
untukku.. kau selalu bulang bahwa kau baik-baik saja..
tapi aku bukan orang bodong yang tak tau tentang
kehidupan, aku
tahu
itu sakit Man, jadi jangan berbohong bahwa kau baik-baik saja..
kenapa
kau pergi secepat ini? Begaimana dengan hatiku yang
terluka
ini, bagaimana ini akan sembuh tanpa kau disisiku? Aku
sudah melewati banyak waktu denganmu.. aku
sudah terbiasa
denganmu..
dan sekarang kau telah pergi. Kau pergi setelah mencapai
tujuanmu,
bukankah tujuanmu adalah untuk meraih kemerdekaan dan
demi kebahagianku Man, kamu memang telah
meraih kemerdekaan,
tapi
apa kau pikir itu akan membuatku bahagia? Kebahagianku bukan
untuk
merdeka, tapi saat kau berada disisiku Man.. hanya itu
kebahagianku..”
Untuk pertama kalinya Laila berbaring dibawah langit
malam bertabur bintang seorang diri, kini Herman tak ada untuk menemaninya.
Laila :
“Herman.. apa kau lihat bintang-bintang itu.. bintangnya berkurag lagi..
apakah
bintang itu bintang kemerdekaan? Apa kau telah meraihnya
untukku?
Kau memang telah meraihnya Man.. terimakasih untuk itu,
tapi mengapa kini kau yang terperangkap di dalam langit itu?
seharusnya kau tak perlu menukar posisimu dengan bintang itu.
Jujur saja aku lebih bahagia terjajah asalkan bersamamu
dibandingkan merdeka tanpamu.. itu menyakitkan.. langit biru telah
menelanmu.. dan angin telah membawa tawamu.. kini hanya
kenangan yang bisa mengingatkanku padamu.. Herman.. apakah
angin
adalah belaianmu? Apakah hujan adalah tangisanmu? Ataukah
guntur adalah kemarahanmu? Aku tahu kau memperhatikanku dari
atas sana, aku akan hidup bahagia untukmu.. karena aku
mencintaimu Herman.. dan maafkan aku karena tak bisa
melindungimu..”
Pada
akhirnya, harapan semua warga tercapai termasuk cita-cita Herman, pada tanggal
14 Januari 1914 kejayaan berhasil kami peroleh. Dengan berjalannya waktu,
perekonomian desaku pun kembali normal, masyarakat hidup dengan sejahtera,
semuanya aman dan tentram tak terjajah. Semua telah kembali seperti semula,
tapi hatiku takkan pernah kembali seperti semula, luka dan rasa sakit ini
takkan pernah sembuh. Aku terlanjur telah mengukir namamu secara permanen
dihatiku, aku akan selalu mencintaimu, aku takkan pernah melupakanmu, aku
takkan melupakan perjuangan dan jasamu Herman, aku akan selalu mengingat
kenangan ini, kenangan 14 Januari yang sangat bermakna, yang telah membebaskan
kami dari penjajahan, yang telah membangun desa ini kembali, yang telah
membangun luka besar dihatiku, dan yang telah merenggut bintangku untuk selamanya.