Mengungkap
Kisahnya
Anak laki-laki itu
terus membisu menekuk lututnya merapat ke dadanya, terus merunduk dan
bersembunyi di bawah satu-satunya meja kayu di ruangan itu. Wajahnya terhalang kursi-kursi
yang ditariknya untuk menutupi meja. Meskipun begitu aura suramnya dapat
dirasakan oleh siapa saja yang memasuki ruangan itu. Sebagai seorang psikiater,
aku harus memulihkan keadaannya. Ini sudah tahun ketujuhnya berada di rumah
pemulihan ini, umurnya akan segera melampaui batas ketetapan usia pasien
disini, sehingga mau tidak mau ia akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Namun
para perawat disini sangat menyesali keputusan itu, sebenarnya dia sama sekali
tidak gila. Anak laki-laki di kolong meja itu terlalu mengkhawatirkan untuk
dibawa ke rumah sakit jiwa yang mungkin akan bersikap kejam padanya. Bisa-bisa
anak itu mati membisu disana. Dan atas semua itu, aku dipanggil untuk
menanganinya.
Perawat lainnya mulai
meningalkan ruangan dan memantau kami dari luar melalui kaca satu arah. Kini
hanya aku yang tinggal di dalam, hanya berdua denganya. Ruangan ini begitu
sederhana dengan dinding yang dicat putih menyeluruh. Sebuah meja dengan dua
buah kursi, ranjang kecil di sudut ruangan, karpet bulat kecil, dan jendela
tanpa tirai yang menghadap ke halaman di bawah. Aku mencoba menyapanya, dan
seperti yang ku kira, tak ada jawaban sama sekali darinya. Bahkan ia terlalu
sibuk dalam lamunanya, ia sama sekali tak mempedulikan kehadiranku, ia tetap
teguh dalam posisinya itu, hanya mengayunkan tubuhnya sesekali. Aku tak tahu
apa yang harus aku lakukan, jujur orang-orang yang menatap kami dari luar
ruangan membuatku gugup. Aku hanya terduduk disebrangnya dan mencoba setenang
mungkin agar tidak mengganggunya, memandanginya dan mencoba memahami
perasaannya.
Wajahnya begitu kotor
dan terlihat agak jelek bagi remaja seumuranya, mungkin karena ia tak mandi
selama berbulan-bulan, itu juga terbukti dengan bau tak sedap pada tubuhnya.
Rambutnya sama sekali tak tertata menutupi sebagian wajahnya, dan pakaian yang
dikenakannya juga sudah terlalu kecil bagi tubuhnya. Menurut laporan yang aku
dengar dari para staff lainnya, anak itu sebenarnya masih memiliki keluarga dan
sesungguhnya ia tak memiliki masalah apapun pada dirinya, semuanya normal.
Namun tak ada satu pun dari semua perawat yang pernah mendengarnya berbicara.
Sebagian waktunya hanya ia habiskan untuk bersembunyi dibawah meja dan menutupi
dirinya, dan sikapnya tak pernah terduga. Ia akan menyiksa dirinya sendiri jika
mendengar kalimat introgatif yang mengingatkannya pada kenangan buruknya di
masa lalu.
Tak ada hal apapun
yang bisa menarik perhatianya keluar dari kebisuannya. Hanya ada dendam dan
amarah yang menanti terpancing oleh kenangan buruknya. Inilah masalah terbesar
psikiater sepertiku, terlampau bingung untuk mengambil langkah awal dan mulai
menyocokan pazzel. Mengungkap kisah yang tersembunyi dari aura suram itu, bukan
semakin mengurungnya dalam keterpurukan belenggu masa lalu.
Pertama, aku
memperkenalkan diriku. Memintanya mendengarkan, dan terus menceritakan hal-hal
yang aku alami hari ini di luar sana, mencoba menarik perhatiannya. Terus
mengajaknya berbicara dan membuatnya nyaman meskipun tak ada jawaban. Waktuku
telah habis untuk hari ini, aku pun berpamitan padanya. Hari-hari selanjutnya terus begitu, aku terus mengajaknya berbicara namun tetap
tak ada jawaban.
Namun kali ini aku
telah mempersiapkan sesuatu. Hari ini aku akan membacakan cerita padanya, aku
ingin mengajaknya keluar dari tempat persembunyiannya itu. Aku memasuki ruangan
putih itu, menyapanya yang sudah bersembunyi di bawah meja, dan aku pun
menceritakan perjalananku menuju kesini. Kali ini ia tidak menggoyang-goyangkan
tubuhnya, hanya duduk memeluk tubuhnya sembari mengintipku dari kolong meja.
Lalu aku meminta diri untuk membacakannya sebuah cerita, namun tak ada jawaban
pula. Aku membaca sambil meliriknya sesekali, ingin mengetahui bagaimana
ekspresinya. Aku sedikit kaget megetahui ia sedang memandangiku dengan
pandangan tajam. Itu bukan tatapan kebencian, ia hanya ketakutan dan bingung.
Aku berhenti sejenak dan bertanya apakah ia baik-baik saja, dan haruskah aku
meneruskan ceritanya. Jawabannya benar-benar kejutan bagiku. Ia mengangguk,
melihat kesempatan itu aku memintanya untuk keluar dan duduk disebelahku. Namun
ia tak menjawab, aku pun memita untuk bergabung dengannya dibawah meja setelah
menyingkirkan kursi-kursi yang menghalangi. Sekarang aku berada dibawah meja,
berusaha serendah mungkin agar tubuhku tak terantuk meja. Kembali membaca hingga
waktuku habis, berpamitan dan meninggalkannya.
Hari ini pun aku akan
membacakan cerita untuknya lagi, disamping itu aku juga membawa perlengkapan
menggambar untuknya. Kini ia sudah terbiasa dengan kehadiranku, ia juga tak
keberatan membagi ruang dibawah mejanya itu. Aku berusaha bertahan dan
membacakan cerita dengan sebagai tubuhku berada diluar meja. Aku berkata bahwa
tenggorokanku kering dan bertanya apakah ia mau bergantian membacakan buku
cerita ini, akankah ia membaca dan berbicara?
Ia hanya memandangi buku itu. Takut jika aku salah mengambil langkah, aku pun mengalihkan topik. Aku mengeluarkan peralatan menggambar dan mempersilahkannya untuk menggambar. Ia benar-benar tenggelam dalam imajinasi yang ia gambar, aku hanya terdiam dan sesekali melihat arlojiku memastikan berapa lama lagi harus terkurung disini. Akhirnya jam sudah menunjukan pukul 11, dan itu waktu bagiku untuk pergi. Anak itu masih sibuk menggambar, aku berpamitan dan meninggalkannya dengan peralatan menggambar itu.
Ia hanya memandangi buku itu. Takut jika aku salah mengambil langkah, aku pun mengalihkan topik. Aku mengeluarkan peralatan menggambar dan mempersilahkannya untuk menggambar. Ia benar-benar tenggelam dalam imajinasi yang ia gambar, aku hanya terdiam dan sesekali melihat arlojiku memastikan berapa lama lagi harus terkurung disini. Akhirnya jam sudah menunjukan pukul 11, dan itu waktu bagiku untuk pergi. Anak itu masih sibuk menggambar, aku berpamitan dan meninggalkannya dengan peralatan menggambar itu.
Hari ini pukul setengah
7 pagi, aku pergi ke rumah pemulihan seperti biasanya. Saat aku berjalan
sembari meminum kopi hangat menuju ruangan Ken, nama anak lelaki itu yang tak
ku tuliskan sebelumnya. Para perawat tersenyum sangat bahagia padaku tak
seperti biasanya, dan salah satu dari mereka mendekat padaku. Ken bercermin dan
mengerak-gerakan mulutnya, benarkah apa yang dikatakanya itu. Aku bergegas
menuju ruangan Ken, benar saja anak lelaki itu sedang berusaha berbicara dengan
menggerak-gerakan mulutnya. Aku menyapanya, dan ia agak terkejut melihatku. Aku
dengan lembut menegur dan memujinya, bertanya akan kesulitannya. Walaupun dia
terdiam, namun aku tahu ia kesulitan mengeluarkan suaranya. Aku memperlihatkan
beberapa tulisan dan membacanya berharap ia akan mengikuti, lalu aku mulai
membaca huruf vokal untuk membantunya. Namun ia tetap kesulitan, ia benar-benar
mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengeluarkan suaranya hingga urat-uratnya
tertonjol keluar. Aku menyuruhnya untuk rileks dan mulai mengeluarkan suara apa
saja perlahan. Ia benar-benar kesulitan, ia terus mencoba untuk berteriak
bahkan lupa untuk bernafas. Aku tahu ini akan sulit bagi orang sudah
bertahun-tahun tak berbicara. Ia terus mencoba tanpa henti hingga air matanya
mulai mengalir. Aku iba melihat hal itu, aku memeluknya untuk menenangannya.
Berbisik di telinganya bahwa ini bukan masalah besar, kita bisa melakukannya
lain kali. Aku pun tersenyum menanyakan hasil dari kesibukannya kemarin, apakah
ia sudah menyeesaikan gambarnya. Ia menghela nafas, lalu mengambil selembar
kertas yang telah dipenuhi gambar yang tak terpikirkan oleh ku. Awalnya aku
sedikit bingung dengan gambar yang berantakan itu. Itu gambar suatu kecelakaan
mobil, dimana ada seorang pria yang terlindas dibawahnya. Ususnya terlontar
dari dalam perutnya memenuhi jalanan, kepalanya yang terbelah memperlihatkan
otaknya dengan jelas. Ia mewarnainya dengan baik, meskipun aku tak pernah
melihat organ dalam manusia, tapi gambar ini menunjukannya seakan nyata. Aku
ingin menanyakan siapa pria dalam gambar ini, namun aku khawatir akan
memperburuk keadaan. Dengan satu kata saja, suara parau itu menjelaskan
segalanya. ‘Dad’ Ken mengatakan bahwa
itu adalah ayahnya.
Kali ini aku berniat
untuk mengunjungi keluarganya, berharap akan mendapatkan informasi lebih dari mereka.
Rumahnya cukup besar namun tak terawat, saat aku memasuki rumah itu aku melihat
seorang anak kecil dan seorang ibu yang tenyata adalah ibu Ken, dan ternyata
Ken memiliki beberapa adik yang berumur jauh dibawahnya. Dari percakapanku
dengan ibunya Ken, aku mengetahui beberapa hal. Semenjak kecil Ken dan seorang
adik perempuannya telah hidup dengan ayah tirinya yang kasar, ibunya itu tak
mengelak dan mengatakan bahwa suaminya itu sering menganiaya anak diluar batas.
Ken adalah anak pertama dan satu-satunya anak lelaki di keluarga itu, ayah
tirinya itu tak segan untuk menyiksanya tanpa mansiawi. Terakhir kali sebelum
anak itu memasuki rumah pemulihan, ia memang telah mendapat penyiksaan
terberatnya. Ibunya menuturkan bahwa Ken telah ditendang dengan begitu keras
dibeberapa bagian tubuhnya hingga anak berusia 10 tahun tersebut memuntahkan
darah bahkan kencing darah. Ia sudah tak sadarkan diri, namun ayah tirinya itu
terus memukulinya dengan berbagai benda keras yang bisa ia temukan, sementara
ibunya itu hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Aku bertanya dimana pria itu
sekarang, dan sang nyonya rumah itu menjawab bahwa suaminya sedang bermain
diluar entah minum-minum atau berjudi untuk mendapatkan uang. Berlama-lama
berbincang dengan wanita yang tak bisa menyelamatkan anaknya sendiri membuatku
muak. Aku pun pergi.
Aku sudah
berbulan-bulan bersamanya, aku sudah sangat memahaminya. Sudah banyak kemajuan
yang diperlihatkannya. Kini ia mau menata diri, pandai berbicara, dan sudah
bersikap sopan. Dimataku dia sudah normal selayaknya remaja 17 tahun
seumurannya. Namun ia masih belum bisa membiasakan diri untuk berinteraksi
dengan manusia lainnya. Aku telah berusaha keras untuk mengeluarkannya dari
belenggu masa lalu dan sekarang aku harus menariknya menemui dunia luar. Aku
tahu ia sangat tertarik dan antusias untuk melihat dunia luar, namun ia masih
memiliki ketakutan yang hanya bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri. Suatu
hari saat aku telah mendapatkan izin untuk membawa Ken keluar, saat kami
berkeliling kami melewati suatu SMA. Ken lalu bertanya padaku, bahwa mereka
seumuran dengannya dan apa saja yang terdapat di dalam sana. Lalu aku
menjelaskan semuanya, dan menanyakan apakah ia ingin kesana. Ken pun mengangguk
dengan antusias, jujur saja aku sangat khawatir menyadari anak-anak remaja SMA
masih labil dan mungkin takkan menerima kehadiran seseorang yang sudah lama
terasingkan. Namun semangatnya itu membuatku yakin, ia bertekad akan melakukan
segalanya dengan benar dan berjanji tidak akan mengecewakanku.
Setelah membantunya
mengurus segalanya, aku berusaha berbicara serius dengannya, menasehatinya
beberapa kali, memeberitahukan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi suatu saat di luar sana,
dan membekalinya beberapa pengetahuan untuk menyikapi segalanya. Mengetahui ia
akan memulai kehidupannya yang baru membuatku bahagia sekaligus bangga, namun
juga khawatir karena harus melepaskannya pergi menuju
dunia luar yang kejam.
No comments:
Post a Comment