September 18, 2014

Cerpen 'Memorial'

Memorial
            Aroma arum dalu dan mawar yang membahagiakan bagi orang-orang, bukanlah aroma yang indah dalam benakku. Aroma itu hanyalah kenangan yang mengerikan bagiku, menyayat luka-luka lamaku dan semakin menenggelamkanku dalam kesedihan.
===========================
“Sampai saat ini, non Diah masih gemetar jika melihat darah. Non Diah belum mau keluar kamar sejak kejadian itu padahal kejadian itu sudah lumayan lama berselang”. Ucap Mbok Yah sedikit berbisik pada teman-teman Diah yang datang ke rumah siang itu.
            “Kalau begitu tolong sampaikan salam kami pada Diah ya Mbok, tolong juga sampaikan pada Diah, bahwa kami sangat merindukannya dan kami berharap agar ia dapat kembali bersekolah bersekolah seperti dulu”. Ucap salah seorang teman Diah sekaligus menutup obrolan mereka dengan Mbok Yah.
            Tersungging senyuman kecil dari bibir Mbok Yah yang seraya mengangguk taklim sebagai isyarat mengiyakan amanah dari teman-teman Diah. Bagi teman-teman Diah, hari itu masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Nihil. Tak ada informasi apapun yang bisa mereka bawa pulang untuk dilaporkan kepada pihak sekolah pada keesokan harinya.
            Siang itu semuanya pulang, keculi Raras. Ia masih mempertahankan duduk manisnya dalam dekapan sofa ruang tamu. Tak ada tanda-tanda Raras untuk beranjak, dan itu mengundang Mbok Yah untuk melangkah mendekatinya.
            “Sudah berapa lama Diah tak keluar kamar, Mbok?” Belum sempurna pantat Mbok Yah menyentuh tempat duduk, kalimat itu mendahului semuanya.
            “Eh.. anu non sudah sejak bapak masuk rumah sakit sekitar tiga bulan yang lalu”, jawab Mbok Yah dengan logat jawa yang kental. “Lalu mengapa sampai saat ini Diah belum mau masuk sekolah, Mbok?” lanjut raras dengan nada penasaran.
“Mbok sendiri tidak tahu, seingat saya non Diah pernah mengalami hal serupa. Asalkan non Raras tahu, dahulu non Diah itu orangnya periang lho!”. Raras tercengang, ia bingung akan apa yang dikatakan Mbok Yah, yang ia tahu Diah adalah orang yang sangat pemdiam “Memangnya apa yang terjadi Mbok?”
===========================
            Langit cukup cerah sore itu, bahkan terlalu cerah apabila dibandingkan dengan suasana yang lembab dan berkabut di taman belakang sekolah. Dari atas sini aku dapat melihat taman yang dipenuhi beribu bunga itu dengan jelas. Bunga-bunga yang seakan menemaniku dalam penantian. Sore ini seseorang telah berjanji untuk menjemput dan mengantarkanku pulang, jadi aku akan menunggunya dengan sepenuh hati. Kami memang berasal dari sekolah yang berbeda, jam pelajarannya lebih lama dibandingkan dengan sekolahku, jadi aku tak akan menyalahkannya jika ia akan datang terlambat. Disinilah aku sekarang, di dalam kelas kosong termenung menunggunya. Aku membuka jendela, mencoba mendapatkan udara segar dari taman di bawahku. Aroma arum dalu dan mawar segera menyambutku, terhirup ke dalam tenggorokanku dan perlahan menembus memenuhi kepalaku. Aromanya terasa sangat lembut disertai dengan hembusan angin segar di sore hari, memperindah suasana hatiku yang sedang bahagia.
Bunga-bunga yang tertiup angin seakan-akan mengajakku ikut bermain, untuk sesaat aku terpesona melihatnya. Mungkin dia akan lebih terlambat dari ini pikirku, oleh karena itu mungkin lebih baik untuk berjalan-jalan sebentar di taman. Aroma arum dalu dan mawar telah menyambutku lagi, bahkan beberapa meter sebelum aku benar-benar bisa melihat mereka. Kini aromanya terasa jauh lebih tajam, terasa menusuk hidungku. Namun tetap saja, keindahannya membuatku ingin masuk kedalamnya, sebentar saja. Jika memang kau sudah datang tunggulah sebentar, tidak ada salahnya jika sekarang giliranmu untuk menunggu.
Sekarang aku dikelilingi beribu bunga-bunga, terus melangkah mengikuti hatiku yang sedang bersuka cita ini, melangkah perlahan agar tubuhku tak terluka karena batang mawar yang berduri. Aroma tajam arum dalu dan mawar terus menemaniku, seperti dalam mimpi aku benar-benar menikmati ini.
            Apa aku terlalu banyak menghirup aroma tajam ini? Aku rasakan perih pada hidungku, kepalaku juga terasa sedikit pusing. Aku mencoba menyadarkan diriku, tapi sepertinya ada yang janggal. Aroma arum dalu, mawar, dedaunan, tanah, dan sesuatu yang masih membuatku bingung, semua aroma itu terhirup ke dalam hidupku secara bersamaan, tapi aku tak yakin. Perlahan-lahan aku menyeret kakiku, aroma ini semakin jelas. Aku terus berjalan, bunga arum dalu dan mawar masih tetap memenuhi pandanganku. Tubuhku semakin lemas, hingga tiba-tiba aku terjatuh karena tersandung sesuatu.
            Pemandangan ini benar-benar tak bisa ku terima, aku kehabisan kata-kata, Darah.. Darah.. Ternyata benar-benar darah. Melihat darah yang menggenang membuatku terhentak ke belakang. Jantungku benar-benar berdentum sangat keras, serasa akan terlontar ke luar. Ternyata aku tersandung oleh tangannya. Aku sedang melihat mayat sekarang, mayat yang berlumuran darah itu terekspose jelas di mataku. Aku harap ini mimpi, aku harap aku sedang berada di kelas menunggu Rega seperti satu jam yang lalu.
            Mataku kembali menatap genangan darah itu, lalu aku memperhatikan yang lain. Seragam yang dipakai orang itu berasal dari sekolah yang sama dengan Rega. Tapi sepatu itu, sepatu olahraga berwarna jingga itu, yang kini menjadi cokelat karena ternodai oleh darah.. Bukankah itu sepatu miliknya? Yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahunnya tiga bulan lalu? Tubuhku benar-benar lemas, aku berlutut disampingnya. Tanganku yang gemetar menyentuh seragamnya, darah mulai mengotori jemariku. Sekuat tenaga aku mencoba membalikan tubuhnya, mencoba memastikan bahwa sosok ini bukanlah dia, aku harap ini bukanlah dia. Air mataku tak bisa lagi ku bendung, wajah yang setiap lekukannya ku kenal, yang setiap sudutnya ku cintai, kini terlihat sangat pucat, tubuhnya tergeletak kaku tak berdaya.
Air mataku terus mengalir dengan sendirinya, tubuhku bergetar hebat. Air mataku mulai membasahi seragamku, aku terus memandangi tubuhnya. Aura seram mengaliri tubuhku, aku diselimuti oleh kesedihan yang luar biasa. Hatiku benar-benar sakit, meskipun aku telah memberikan seluruh hatiku untuknya, tapi disini benar-benar terasa sakit sekarang, bahkan tak bisa ku bayangkan, jantungku serasa tertusuk duri disekitarku. Orang yang kucintai, yang berjanji untuk menjemputku hari ini, orang yang ku tunggu sedaritadi, ia sudah pergi meninggalkanku lebih dulu.. ternyata ia sudah dijemput terlebih dulu oleh maut.
Malam akan segera tiba, dan aku hanya bisa menangisi kepergiannya, terus memandanginya berharap ia akan terbangun sebentar saja untuk menjemputku dan membawaku bersamanya. Aroma darah bercampur dengan mawar dan arum dalu terus menusuk menjadi latar kepedihanku saat ini. Aku tak dapat menopang tubuhku lagi, seketika aku terjatuh di pelukannya, darah yang memenuhi kemejanya menjadi pemandangan terakhir yang kulihat malam itu.
===========================
            Setelah tersadar Diah segera menjangkau ponselnya, melihat tanggal yang tertera untuk memastikan bahwa kejadian itu hanyalah sebuah mimpi. Lalu ia tergerak untuk membuka kontak Rega, melihat seberapa sering mereka berbicara serta melihat pesan-pesan singkat dari lelaki itu. Terus membacanya ulang hingga kaca ponsel itu terus terbasahi oleh air matanya. Ia melihat pesan teakhir Rega kepadanya pagi itu, namun ada yang salah.. yang membuat ia benar-benar bersalah..
“Kebun di belakang sekolahmu sangat indah. Bagaimana jika kita bertemu disana hari ini? Aku harap kamu tidak sibuk sepulang sekolah, aku akan menjemputmu dan kita akan pulang bersama.. jangan melamun di kelas hanya karna merindukan wajah tampanku..”.
Mata Diah terbelalak melihat pesan itu. Bodoh, bodoh sekali pikirnya. Ia baru sadar bahwa Rega menunggunya di taman saat itu. Kenapa ia bisa menjadi sebodoh itu, kenapa kecerobohan itu bisa terjadi?! Apa semuanya benar-benar kesalahannya, apa yang sebenarnya terjadi benar-benar tak terjangkau oleh nalarnya.
============================
“Den Rega sudah meninggal di tempat kejadian saat polisi datang. Sementara non Diah pingsan disamping jenazah den Rega lalu dibawa ke rumah sakit”. “Tapi Mbok, saya tak pernah mendengar pembunuhan itu. Jika saya boleh tahu siapa pelakunya Mbok?” ucap Raras penasaran. “Setahu Mbok, pelakunya belum juga ditangkap. Kedua pihak sekolah sepakat untuk menutup kasus tersebut, dan kejadian itu malah hanya dikatakan sebagai tindak penganiayaan saja. Hukum memang lunak ya non, walaupun saya tak paham”. “Itu pasti sangat memberatkan batin Diah saat itu, itu pasti sangat menyakitkan, kehilangan orang yang kita cintai. Jika aku jadi Diah mungkin aku sudah jadi gila” komentar Raras. “Karena kejadian itu non Diah sempat dirawat di rumah sakit dan bahkan harus menjalani rahabilitasi untuk beberapa bulan” lanjut Mbok Yah. Raras terus dikejutkan oleh pernyataan-pertanyaan Mbok Yah, “Mbok tak dapat terima jika non Diah akan mengalami itu lagi” tambah Mbok Yah dengan raut wajah penuh perhatian.
            Kini Raras mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, walaupun ia bukan teman dekat Diah ia tetap merasa berkewajiban  untuk menolong Diah dalam keadaan ini. Yang dia tahu Diah memanglah orang yang pendiam sejak ia pindah sekolah dua tahun lalu, tapi tak ia sangka Diah pernah mengalami hal seburuk itu. Ia memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, dan memikirkan segalanya matang-matang.
            Keesokan harinya Raras kembali berkunjung, ia berniat untuk berbicara dengan Diah. Ditemani Mbok Yah, Raras mencoba mengetuk pintu kamar Diah, “Diah. Ini aku Raras, aku ingin berbicara denganmu sebentar saja. Bolehkah aku masuk?” Namun tetap tak ada jawaban. “Diah, aku tahu ini sulit untukmu. Tapi semua orang mencemaskan keadaanmu, janganlah menyakiti dirimu sendiri. Aku sudah mengetahuinya, kejadian dua tahun lalu, kematian Rega bukanlah kesalahanmu” lanjutnya.
Tak disangka gagang pintu pun bergerak. “Diah..” bisik Raras. Penampilannya sunggung berantakan, matanya benar-benar sayu. Wajahnya cantiknya tampak kacau sekarang, tak dapat dibayangkan penderitaan apa yang dipendamnya. Raras segera tersadar akan tujuan sebenarnya “Diah. Oh! Aku harap kamu baik-baik saja Diah”. Kemudian Raras melirik ke arah Mbok Yah, Mbok Yah hanya memberikan anggukan lemah kepadanya. “Bolehkah aku masuk Diah? Banyak hal yang ingin aku bicarakan”. Akhirnya Diah memperbesar celah pintunya, membiarkan Raras memasuki ruangannya. Lalu Diah duduk di atas ranjangnya dan menundukan kepalanya “Mbok telah menceritakan semuanya ya. Kau pasti semakin iba terhadapku, jika kau berniat untuk menghiburku aku takkan terhibur”. “Aku tidak ingin menghiburmu dengan kata-kata munafik kok. Aku hanya tidak ingin kau terus terpuruk seperti ini, kau tidak boleh tenggelam dalam kesedihan dan menyiksa dirimu sendiri! Jika kamu melakukan ini karena rasa bersalah.. Oh hey! Ini bukan yang ayahmu atau Rega inginkan. Maaf jika aku terlalu kasar, tapi.. Ahh ayolah Diah! Berhentilah bersikap seperti ini. Penyesalan takkan mengubah apapun. Ayahmu membutuhkanmu di rumah sakit sekarang, seharusnya kamu ada disisinya bukan..” Diah hanya menghela nafas mendengarnya.
===========================
            Seperti biasa Diah pergi sekolah dengan diantar ayahnya, karena sekolah Diah dan kantor ayahnya berada di jalur yang sama. Jalanan cukup sepi di pagi hari, tak ingin membuang waktu ayah Diah sedikit menambah kecepatan mobilnya. Diah yang sedang membaca buku di kursi belakang terhentak, bukunya terlempar ke depan, jatuh di bawah kaki ayahnya. Diah cukup kesulitan untuk mengambilnya, sehingga ia meminta tolong kepada ayahnya untuk membantunya. Buku pun kembali berada di tangan Diah, tapi tiba-tiba datang sebuah bus dari arah yang berlawanan. Ayah Diah membanting stir sekuat tenaga untuk menghindari, tapi benturan kencang itu tetap tak terelakan, ayah Diah terhempas keluar mobil hingga tubuhnya terbentur trotoar cukup keras, sementara Diah hanya terbentur kursi di depannya yang mengakibatkan luka pada dahinya.
            Diah yang masih tersadar segera menghampiri ayahnya, saat ia mendekatinya, darah telah menggenang di bawah kepala ayahandanya itu, luka-luka yang lain pun mulai mengeluarkan darah. Itu membuat Diah merasa lemas, bau khas darah pun mulai menyebar dan menyentuh hidungnya. Belum sempat ia memfokuskan pikirannya, warga sekitar segera mengevakuasinya. Diah hanya dapat melihat ayahnya yang berlumuran darah itu digotong menjauh oleh beberapa orang. Apa ini salahnya? Pikiran itu berkelebat dalam benaknya saat itu.
===========================
            Kata-kata Raras memang terdengar benar. Tapi tetap sulit diterima oleh nalarnya saat ini, pikirannnya hanya dipenuhi oleh rasa penyesalan akan tragedi-tragedi itu. “Kau takkan paham. Aku melihat semuanya dengan mata-kepalaku sendiri, tapi aku tak dapat berbuat apa-apa”. “Tolong pikirkan kembali kata-kataku tadi, penyesalan itu tidak ada gunanya sekarang. Sekarang yang harus kamu lakukan adalah pergi menjenguk ayahmu dan menemaninya, bangkitlah dari kesedihan ini. Aku rasa aku sudah cukup bicara, kalau begitu aku pamit Diah, kami semua ingin yang terbaik untukmu”. Raras pun melenggang keluar, setelah pamit kepada Mbok Yah Raras pun pulang.
            Setelah beberapa saat, Diah termenung kembali. Kata-kata Raras memang benar, tidak ada salahnya jika ia mencobanya. Setelah merapikan diri, Diah kembali meyakinkan dirinya bahwa ia tak ingin mengecewakan siapapun. Ia pun mengambil kunci mobil dan bergegas ke rumah sakit. Mbok Yah yang melihatnya tersenyum sumringah menyambut perubahan pesat Diah, mengurangi penyesalannya karena mengungkit tragedi itu lagi.
Diah segera memasuki ruang dimana ayahnya selama ini dirawat. Duduk disamping satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang. Menatap wajah ayahnya, semakin ia mengingat kejadian itu. Ia rasa ini sudah cukup, tubuhnya terasa capek akan semua yang terjadi. Diah pun meninggalkan ruangan berbau cairan infus itu.
            Kemacetan menghalangi Diah untuk segera sampai ke rumah, mobilnya hanya maju sesekali saja itu pun tak sampai dua meter. Diah kembali tenggelam dalam lamunannya, matanya kosong mengarah ke jalanan, entah apa yang sedang ia pikirkan. Lalu ia melihat arlojinya yang menunjukan pukul empat sore lebih lima belas menit, ini terlalu membuang-buang waktu gerutunya dalam hati. Tiba-tiba ia melihat gang kecil yang ia kenal, mudah-mudahan saja gang itu dapat membawa Diah pulang lebih cepat. Tanpa berpikir panjang Diah segera melajukan mobilnya, bergegas untuk pulang.
Ia kaget ketika ia mengetahui kemana gang ini menuntunnya, kini ia mengenali jalan ini, jalan yang sering ia lewati dua tahun yang lalu, jalan menuju sekolahnya dulu.
            Kini mobilnya sudah ada di depan gerbang SMA itu, Diah menatapnya dengan tajam “Bangunannya masih tetap sama, tak ada yang berubah” ucapnya sedikit berbisik. Keadaan sekolah sudah kosong saat itu, tak seperti dulu. Mungkin karena kejadian itu sekolah semakin memperketat peraturan.
            Angin sore berhembus kencang ke arahnya, hawa lembut itu kini menerpa wajahnya. Hawa yang membawa sedikit kejutan bagi Diah, hawa yang mengandung aroma kesedihan. Untuk sejenak Diah terhentak, indra penciumannya telah dapat menerjemahkan bebauan ini, aroma arum dalu dan mawar yang begitu khas diingitannya. Tanpa sadar kini matanya berkaca-kaca, aroma ini membuka luka-lukanya yang sudah ia sembunyikan sejak dua tahun lalu, mengundang kembali air mata yang telah lama ia pendam untuk kepergianya.
            Ia melangkah perlahan memasuki sekolah, ternyata ia masih hafal betul dengan denah sekolah ini. Ia memperhatikan setiap lekukan yang ia lewati, kenangan demi kenangan menuntunya lagi pada rasa sakit. setelah melewati pos satpam ia dapat melihat pintu tua itu, gerbang menuju taman belakang sekolah. Bahkan dengan segala kekejamannya, taman ini masih tetap ada. Agin bertiup kembali, berlalu dengan meninggalkan aroma khas itu lagi. Bapak satpam yang sejak awal telah mengetahui kedatangan Diah mengikutinya dari belakang takut-takut terjadi sesuatu padanya. Satpam itu adalah satpam yang sama seperti dua tahun yang lalu, ia kenal betul siapa Diah dan ia paham betul akan kejadian apa yang Diah alami dua tahun silam.
            Diah tiba-tiba terdiam. Ia menatap hamparan bunga-bunga itu dengan nanar, satu per satu air matanya jatuh begitu saja. Kenangan demi kenangan menyayat kembali hatinya, semakin ia memikirkan untuk melupakannya semakin ia menangis. Bahunya gemetar menahan rasa sakit lukanya yang telah kembali terbuka karena aroma itu. Kini pikirannya dipenuhi oleh kenangan mereka, senyuman dan tawa Rega menjadi satu-satunya bayangan yang ada di mata Diah saat ini.

Ia terus menatap bunga-bunga itu, terus tenggelam dalam kenangan seram sore itu, dimana orang yang dicintainya terbujur kaku diantara bunga-bunga itu. Diah mendongakkan kepalanya menghadap langit malam “Aku akan terus menunggumu bahkan di kehidupan yang lain. Aku akan bertahan dengan kenangan ini, kenangan yang kau berikan” batinnya, sembari menyunggingkan senyuman tipis. Air mata semakin deras mengaliri permukaan pipinya, satpam yang memperhatikannya pun tak bisa berbuat apa-apa, dari jauh ia hanya dapat melihat punggung yang penuh dengan kesedihan itu dengan iba.

No comments:


\