Memorial
Aroma arum
dalu dan mawar yang membahagiakan bagi orang-orang, bukanlah aroma yang indah
dalam benakku. Aroma itu hanyalah kenangan yang mengerikan bagiku, menyayat
luka-luka lamaku dan semakin menenggelamkanku dalam kesedihan.
===========================
“Sampai saat ini, non Diah masih gemetar jika melihat darah. Non Diah
belum mau keluar kamar sejak kejadian itu padahal kejadian itu sudah lumayan
lama berselang”. Ucap Mbok Yah sedikit berbisik pada teman-teman Diah yang
datang ke rumah siang itu.
“Kalau
begitu tolong sampaikan salam kami pada Diah ya Mbok, tolong juga sampaikan
pada Diah, bahwa kami sangat merindukannya dan kami berharap agar ia dapat
kembali bersekolah bersekolah seperti dulu”. Ucap salah seorang teman Diah sekaligus
menutup obrolan mereka
dengan Mbok Yah.
Tersungging
senyuman kecil dari bibir Mbok Yah yang seraya mengangguk taklim sebagai
isyarat mengiyakan amanah dari teman-teman Diah. Bagi teman-teman Diah, hari
itu masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Nihil. Tak ada informasi apapun
yang bisa mereka bawa pulang untuk dilaporkan kepada pihak sekolah pada
keesokan harinya.
Siang
itu semuanya pulang, keculi Raras. Ia masih mempertahankan duduk manisnya dalam
dekapan sofa ruang tamu. Tak ada tanda-tanda Raras untuk beranjak, dan itu
mengundang Mbok Yah untuk melangkah mendekatinya.
“Sudah
berapa lama Diah tak keluar kamar, Mbok?” Belum sempurna pantat Mbok Yah
menyentuh tempat duduk, kalimat itu mendahului semuanya.
“Eh..
anu non sudah sejak bapak masuk rumah sakit sekitar tiga bulan yang lalu”, jawab
Mbok Yah dengan logat jawa yang kental. “Lalu mengapa sampai saat ini Diah
belum mau masuk sekolah, Mbok?” lanjut raras dengan nada penasaran.
“Mbok sendiri tidak tahu, seingat
saya non Diah pernah mengalami hal serupa. Asalkan non Raras tahu, dahulu non
Diah itu orangnya periang lho!”. Raras tercengang, ia bingung akan apa yang
dikatakan Mbok Yah, yang ia tahu Diah adalah orang
yang sangat pemdiam “Memangnya apa yang terjadi Mbok?”
===========================
Langit
cukup cerah sore itu, bahkan terlalu cerah apabila dibandingkan dengan suasana
yang lembab dan berkabut di taman belakang sekolah. Dari atas sini aku dapat
melihat taman yang dipenuhi beribu bunga itu dengan jelas. Bunga-bunga yang
seakan menemaniku dalam penantian. Sore
ini seseorang telah berjanji untuk menjemput dan mengantarkanku pulang, jadi
aku akan menunggunya dengan sepenuh hati. Kami memang berasal dari sekolah yang
berbeda, jam pelajarannya lebih lama dibandingkan dengan sekolahku, jadi aku
tak akan menyalahkannya jika ia akan datang terlambat. Disinilah aku sekarang,
di dalam kelas kosong termenung menunggunya. Aku membuka jendela, mencoba
mendapatkan udara segar dari taman di bawahku. Aroma arum dalu dan mawar segera
menyambutku, terhirup ke dalam tenggorokanku dan perlahan menembus memenuhi
kepalaku. Aromanya
terasa sangat lembut disertai dengan hembusan angin segar di sore hari,
memperindah suasana hatiku yang sedang bahagia.
Bunga-bunga yang tertiup angin
seakan-akan mengajakku ikut bermain, untuk sesaat aku terpesona melihatnya.
Mungkin dia akan lebih terlambat dari ini pikirku, oleh karena itu mungkin
lebih baik untuk berjalan-jalan sebentar di taman. Aroma arum dalu dan mawar
telah menyambutku lagi, bahkan beberapa meter sebelum aku benar-benar bisa
melihat mereka. Kini aromanya terasa jauh lebih tajam, terasa menusuk hidungku.
Namun tetap saja, keindahannya membuatku ingin masuk kedalamnya, sebentar saja.
Jika memang kau sudah datang tunggulah
sebentar, tidak ada salahnya jika sekarang giliranmu untuk menunggu.
Sekarang aku dikelilingi beribu
bunga-bunga, terus melangkah mengikuti hatiku yang sedang bersuka cita ini,
melangkah perlahan agar tubuhku tak terluka karena batang mawar yang berduri.
Aroma tajam arum dalu dan mawar terus menemaniku, seperti dalam mimpi aku
benar-benar menikmati ini.
Apa aku
terlalu banyak menghirup aroma tajam ini? Aku rasakan perih pada hidungku,
kepalaku juga terasa sedikit pusing. Aku mencoba menyadarkan diriku, tapi
sepertinya ada yang janggal. Aroma arum dalu, mawar, dedaunan, tanah, dan
sesuatu yang masih membuatku bingung, semua aroma itu terhirup ke dalam hidupku
secara bersamaan, tapi aku tak yakin. Perlahan-lahan aku menyeret kakiku, aroma
ini semakin jelas. Aku terus berjalan, bunga arum dalu dan mawar masih tetap
memenuhi pandanganku. Tubuhku semakin lemas, hingga tiba-tiba aku terjatuh
karena tersandung sesuatu.
Pemandangan
ini benar-benar tak bisa ku terima, aku kehabisan kata-kata, Darah.. Darah..
Ternyata benar-benar darah. Melihat darah yang menggenang membuatku terhentak
ke belakang. Jantungku benar-benar berdentum sangat keras, serasa akan
terlontar ke luar. Ternyata aku tersandung oleh tangannya. Aku sedang melihat
mayat sekarang, mayat yang berlumuran darah itu terekspose jelas di mataku. Aku
harap ini mimpi, aku harap aku sedang berada di kelas menunggu Rega seperti
satu jam yang lalu.
Mataku
kembali menatap genangan darah itu, lalu aku memperhatikan yang lain. Seragam yang
dipakai orang itu berasal dari sekolah yang sama dengan Rega. Tapi sepatu itu,
sepatu olahraga berwarna jingga itu, yang kini menjadi cokelat karena ternodai
oleh darah.. Bukankah itu sepatu miliknya? Yang kuberikan sebagai hadiah ulang
tahunnya tiga bulan lalu? Tubuhku benar-benar lemas, aku berlutut disampingnya.
Tanganku yang gemetar menyentuh seragamnya, darah mulai mengotori jemariku.
Sekuat tenaga aku mencoba membalikan tubuhnya, mencoba memastikan bahwa sosok
ini bukanlah dia, aku harap ini bukanlah dia. Air mataku tak bisa lagi ku
bendung, wajah yang setiap lekukannya ku kenal, yang setiap sudutnya ku cintai,
kini terlihat sangat pucat, tubuhnya tergeletak kaku tak berdaya.
Air mataku terus mengalir dengan
sendirinya, tubuhku bergetar hebat. Air mataku mulai membasahi seragamku, aku
terus memandangi tubuhnya. Aura seram mengaliri tubuhku, aku diselimuti oleh
kesedihan yang luar biasa. Hatiku benar-benar sakit, meskipun aku telah
memberikan seluruh hatiku untuknya, tapi disini benar-benar terasa sakit
sekarang, bahkan tak bisa ku bayangkan, jantungku serasa tertusuk duri
disekitarku. Orang yang kucintai, yang berjanji untuk menjemputku hari ini,
orang yang ku tunggu sedaritadi, ia sudah pergi meninggalkanku lebih dulu..
ternyata ia sudah dijemput terlebih dulu oleh maut.
Malam akan segera tiba, dan aku
hanya bisa menangisi kepergiannya, terus memandanginya berharap ia akan
terbangun sebentar saja untuk menjemputku dan membawaku bersamanya. Aroma darah
bercampur dengan mawar dan arum dalu terus menusuk menjadi latar kepedihanku
saat ini. Aku tak dapat menopang tubuhku lagi, seketika aku terjatuh di
pelukannya, darah yang memenuhi kemejanya menjadi pemandangan terakhir yang
kulihat malam itu.
===========================
Setelah
tersadar Diah segera menjangkau ponselnya, melihat tanggal yang tertera untuk
memastikan bahwa kejadian itu hanyalah sebuah mimpi. Lalu ia tergerak untuk
membuka kontak Rega, melihat seberapa sering mereka berbicara serta
melihat pesan-pesan singkat dari lelaki
itu. Terus membacanya ulang hingga kaca ponsel itu terus terbasahi oleh air matanya. Ia melihat pesan
teakhir Rega kepadanya pagi itu, namun ada yang salah.. yang membuat ia
benar-benar bersalah..
“Kebun di belakang sekolahmu sangat
indah. Bagaimana jika kita bertemu disana hari ini? Aku harap kamu tidak sibuk sepulang sekolah, aku
akan menjemputmu dan kita akan pulang bersama.. jangan melamun di kelas hanya
karna merindukan wajah tampanku..”.
Mata Diah terbelalak melihat
pesan itu. Bodoh, bodoh sekali
pikirnya. Ia baru sadar bahwa Rega menunggunya di taman saat itu.
Kenapa ia bisa menjadi sebodoh itu, kenapa kecerobohan itu bisa terjadi?! Apa semuanya benar-benar kesalahannya, apa yang
sebenarnya terjadi benar-benar tak terjangkau oleh nalarnya.
============================
“Den Rega
sudah meninggal di tempat kejadian saat polisi datang. Sementara non Diah pingsan disamping jenazah den Rega lalu
dibawa ke rumah sakit”. “Tapi Mbok, saya tak pernah mendengar pembunuhan itu.
Jika saya boleh tahu siapa pelakunya Mbok?” ucap Raras penasaran. “Setahu Mbok, pelakunya belum juga ditangkap. Kedua
pihak sekolah sepakat untuk menutup kasus tersebut, dan kejadian itu malah
hanya dikatakan sebagai tindak penganiayaan saja. Hukum memang lunak ya non, walaupun saya tak paham”. “Itu pasti sangat memberatkan batin Diah saat itu, itu
pasti sangat menyakitkan, kehilangan orang yang kita cintai. Jika aku jadi Diah
mungkin aku sudah jadi gila” komentar Raras. “Karena kejadian itu non Diah
sempat dirawat di rumah sakit dan bahkan harus menjalani rahabilitasi untuk
beberapa bulan” lanjut Mbok Yah. Raras terus dikejutkan oleh
pernyataan-pertanyaan Mbok Yah, “Mbok tak dapat terima jika non Diah akan
mengalami itu lagi” tambah Mbok Yah dengan raut wajah penuh perhatian.
Kini
Raras mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, walaupun ia bukan teman dekat
Diah ia tetap merasa berkewajiban untuk
menolong Diah dalam keadaan ini. Yang dia tahu Diah memanglah orang yang
pendiam sejak ia pindah sekolah dua tahun lalu, tapi tak ia sangka Diah pernah
mengalami hal seburuk itu. Ia memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, dan
memikirkan segalanya matang-matang.
Keesokan
harinya Raras kembali berkunjung, ia berniat untuk berbicara dengan Diah.
Ditemani Mbok Yah, Raras mencoba mengetuk pintu kamar Diah, “Diah. Ini aku
Raras, aku ingin berbicara denganmu sebentar saja. Bolehkah aku masuk?” Namun
tetap tak ada jawaban. “Diah, aku tahu ini sulit untukmu. Tapi semua orang
mencemaskan keadaanmu, janganlah menyakiti dirimu sendiri. Aku sudah
mengetahuinya, kejadian dua tahun lalu, kematian Rega bukanlah kesalahanmu”
lanjutnya.
Tak disangka gagang pintu pun bergerak. “Diah..” bisik
Raras. Penampilannya sunggung berantakan, matanya benar-benar sayu. Wajahnya
cantiknya tampak kacau sekarang, tak dapat dibayangkan penderitaan apa yang
dipendamnya. Raras segera tersadar akan tujuan sebenarnya “Diah. Oh! Aku harap
kamu baik-baik saja Diah”. Kemudian Raras melirik ke arah Mbok Yah, Mbok Yah
hanya memberikan anggukan lemah kepadanya. “Bolehkah aku masuk Diah? Banyak hal
yang ingin aku bicarakan”. Akhirnya Diah memperbesar celah pintunya, membiarkan
Raras memasuki ruangannya. Lalu Diah duduk di atas ranjangnya dan menundukan
kepalanya “Mbok telah menceritakan semuanya ya. Kau pasti semakin iba
terhadapku, jika kau berniat untuk menghiburku aku takkan terhibur”. “Aku tidak
ingin menghiburmu dengan kata-kata munafik kok. Aku hanya tidak ingin kau terus
terpuruk seperti ini, kau tidak boleh tenggelam dalam kesedihan dan menyiksa
dirimu sendiri! Jika kamu melakukan ini karena rasa bersalah.. Oh hey! Ini
bukan yang ayahmu atau Rega inginkan. Maaf jika aku terlalu kasar, tapi.. Ahh
ayolah Diah! Berhentilah bersikap seperti ini. Penyesalan takkan mengubah
apapun. Ayahmu membutuhkanmu di rumah sakit sekarang, seharusnya kamu ada
disisinya bukan..” Diah hanya menghela nafas mendengarnya.
===========================
Seperti
biasa Diah pergi sekolah dengan diantar ayahnya, karena sekolah Diah dan kantor
ayahnya berada di jalur yang sama. Jalanan cukup sepi di pagi hari, tak ingin membuang waktu ayah Diah sedikit
menambah kecepatan mobilnya. Diah yang sedang membaca buku di kursi belakang
terhentak, bukunya terlempar ke depan, jatuh di
bawah kaki ayahnya. Diah cukup kesulitan untuk mengambilnya, sehingga ia meminta
tolong kepada ayahnya untuk membantunya. Buku pun kembali berada di tangan
Diah, tapi tiba-tiba datang sebuah bus dari arah yang berlawanan. Ayah Diah
membanting stir sekuat tenaga untuk menghindari, tapi benturan kencang itu
tetap tak terelakan, ayah Diah terhempas keluar mobil hingga tubuhnya terbentur
trotoar cukup keras, sementara Diah hanya terbentur kursi di depannya yang mengakibatkan
luka pada dahinya.
Diah
yang masih tersadar segera menghampiri ayahnya, saat ia mendekatinya, darah telah menggenang di bawah kepala ayahandanya
itu, luka-luka yang lain pun mulai mengeluarkan darah. Itu membuat Diah merasa
lemas, bau khas darah pun mulai menyebar
dan menyentuh hidungnya. Belum sempat ia memfokuskan pikirannya, warga sekitar
segera mengevakuasinya. Diah hanya dapat
melihat ayahnya yang berlumuran darah itu digotong menjauh oleh beberapa orang. Apa ini
salahnya? Pikiran itu berkelebat dalam benaknya saat itu.
===========================
Kata-kata
Raras memang terdengar benar. Tapi tetap sulit diterima oleh nalarnya saat ini,
pikirannnya hanya dipenuhi oleh rasa penyesalan akan tragedi-tragedi itu. “Kau
takkan paham. Aku melihat semuanya dengan mata-kepalaku sendiri, tapi aku tak
dapat berbuat apa-apa”. “Tolong pikirkan kembali kata-kataku tadi, penyesalan
itu tidak ada gunanya sekarang. Sekarang yang harus kamu lakukan adalah pergi
menjenguk ayahmu dan menemaninya, bangkitlah dari kesedihan ini. Aku rasa aku
sudah cukup bicara, kalau begitu aku pamit Diah, kami semua ingin yang terbaik
untukmu”. Raras pun melenggang keluar, setelah pamit kepada Mbok Yah Raras pun
pulang.
Setelah
beberapa saat, Diah termenung kembali. Kata-kata Raras memang benar, tidak ada
salahnya jika ia mencobanya. Setelah merapikan diri, Diah kembali meyakinkan
dirinya bahwa ia tak ingin mengecewakan siapapun. Ia pun mengambil kunci mobil
dan bergegas ke rumah sakit. Mbok Yah yang melihatnya tersenyum sumringah
menyambut perubahan pesat Diah, mengurangi penyesalannya karena mengungkit
tragedi itu lagi.
Diah segera memasuki ruang dimana
ayahnya selama ini dirawat. Duduk disamping satu-satunya keluarga yang ia
miliki sekarang. Menatap wajah ayahnya, semakin ia mengingat kejadian itu. Ia
rasa ini sudah cukup, tubuhnya terasa capek akan semua yang terjadi. Diah pun
meninggalkan ruangan berbau cairan infus itu.
Kemacetan
menghalangi Diah untuk segera sampai ke rumah, mobilnya hanya maju sesekali
saja itu pun tak sampai dua meter. Diah kembali tenggelam dalam lamunannya,
matanya kosong mengarah ke jalanan, entah apa yang sedang ia pikirkan. Lalu ia
melihat arlojinya yang menunjukan pukul empat sore lebih lima belas menit, ini
terlalu membuang-buang waktu gerutunya dalam hati. Tiba-tiba ia melihat gang
kecil yang ia kenal, mudah-mudahan saja gang itu dapat membawa Diah pulang
lebih cepat. Tanpa berpikir panjang Diah segera melajukan mobilnya, bergegas
untuk pulang.
Ia kaget ketika ia mengetahui kemana gang ini
menuntunnya, kini ia mengenali jalan ini, jalan yang sering ia lewati dua tahun
yang lalu, jalan menuju sekolahnya dulu.
Kini
mobilnya sudah ada di depan gerbang SMA itu, Diah menatapnya dengan tajam “Bangunannya masih tetap sama, tak ada yang
berubah” ucapnya sedikit berbisik. Keadaan sekolah sudah kosong saat itu,
tak seperti dulu. Mungkin karena kejadian itu sekolah semakin memperketat
peraturan.
Angin
sore berhembus kencang ke arahnya, hawa lembut itu kini menerpa wajahnya. Hawa
yang membawa sedikit kejutan bagi Diah, hawa yang mengandung aroma kesedihan.
Untuk sejenak Diah terhentak, indra penciumannya telah dapat menerjemahkan
bebauan ini, aroma arum dalu dan mawar yang begitu khas diingitannya. Tanpa
sadar kini matanya berkaca-kaca, aroma ini membuka luka-lukanya yang sudah ia
sembunyikan sejak dua tahun lalu, mengundang kembali air mata yang telah lama
ia pendam untuk kepergianya.
Ia
melangkah perlahan memasuki sekolah, ternyata ia masih hafal betul dengan denah
sekolah ini. Ia memperhatikan setiap lekukan yang ia lewati, kenangan demi
kenangan menuntunya lagi pada rasa sakit. setelah melewati pos satpam ia dapat
melihat pintu tua itu, gerbang menuju taman belakang sekolah. Bahkan dengan
segala kekejamannya, taman ini masih tetap ada. Agin bertiup kembali, berlalu
dengan meninggalkan aroma khas itu lagi. Bapak satpam yang sejak awal telah
mengetahui kedatangan Diah mengikutinya dari belakang takut-takut terjadi
sesuatu padanya. Satpam itu adalah satpam yang sama seperti dua tahun yang
lalu, ia kenal betul siapa Diah dan ia paham betul akan kejadian apa yang Diah
alami dua tahun silam.
Diah
tiba-tiba terdiam. Ia menatap hamparan bunga-bunga itu dengan nanar, satu per
satu air matanya jatuh begitu saja. Kenangan demi kenangan menyayat kembali
hatinya, semakin ia memikirkan untuk melupakannya semakin ia menangis. Bahunya
gemetar menahan rasa sakit lukanya yang telah kembali terbuka karena aroma itu.
Kini pikirannya dipenuhi oleh kenangan mereka, senyuman dan tawa Rega menjadi
satu-satunya bayangan yang ada di mata Diah saat ini.
Ia terus menatap bunga-bunga itu, terus tenggelam dalam
kenangan seram sore itu, dimana orang yang dicintainya terbujur kaku diantara
bunga-bunga itu. Diah mendongakkan kepalanya menghadap langit malam “Aku akan terus menunggumu bahkan di
kehidupan yang lain. Aku akan bertahan dengan kenangan ini, kenangan yang kau berikan”
batinnya, sembari menyunggingkan senyuman tipis. Air mata semakin deras
mengaliri permukaan pipinya, satpam yang memperhatikannya pun tak bisa berbuat
apa-apa, dari jauh ia hanya dapat melihat punggung yang penuh dengan kesedihan
itu dengan iba.
No comments:
Post a Comment