February 09, 2014

'Mengungkap Kisahnya'

Mengungkap Kisahnya

Anak laki-laki itu terus membisu menekuk lututnya merapat ke dadanya, terus merunduk dan bersembunyi di bawah satu-satunya meja kayu di ruangan itu. Wajahnya terhalang kursi-kursi yang ditariknya untuk menutupi meja. Meskipun begitu aura suramnya dapat dirasakan oleh siapa saja yang memasuki ruangan itu. Sebagai seorang psikiater, aku harus memulihkan keadaannya. Ini sudah tahun ketujuhnya berada di rumah pemulihan ini, umurnya akan segera melampaui batas ketetapan usia pasien disini, sehingga mau tidak mau ia akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Namun para perawat disini sangat menyesali keputusan itu, sebenarnya dia sama sekali tidak gila. Anak laki-laki di kolong meja itu terlalu mengkhawatirkan untuk dibawa ke rumah sakit jiwa yang mungkin akan bersikap kejam padanya. Bisa-bisa anak itu mati membisu disana. Dan atas semua itu, aku dipanggil untuk menanganinya.

Perawat lainnya mulai meningalkan ruangan dan memantau kami dari luar melalui kaca satu arah. Kini hanya aku yang tinggal di dalam, hanya berdua denganya. Ruangan ini begitu sederhana dengan dinding yang dicat putih menyeluruh. Sebuah meja dengan dua buah kursi, ranjang kecil di sudut ruangan, karpet bulat kecil, dan jendela tanpa tirai yang menghadap ke halaman di bawah. Aku mencoba menyapanya, dan seperti yang ku kira, tak ada jawaban sama sekali darinya. Bahkan ia terlalu sibuk dalam lamunanya, ia sama sekali tak mempedulikan kehadiranku, ia tetap teguh dalam posisinya itu, hanya mengayunkan tubuhnya sesekali. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, jujur orang-orang yang menatap kami dari luar ruangan membuatku gugup. Aku hanya terduduk disebrangnya dan mencoba setenang mungkin agar tidak mengganggunya, memandanginya dan mencoba memahami perasaannya.

Wajahnya begitu kotor dan terlihat agak jelek bagi remaja seumuranya, mungkin karena ia tak mandi selama berbulan-bulan, itu juga terbukti dengan bau tak sedap pada tubuhnya. Rambutnya sama sekali tak tertata menutupi sebagian wajahnya, dan pakaian yang dikenakannya juga sudah terlalu kecil bagi tubuhnya. Menurut laporan yang aku dengar dari para staff lainnya, anak itu sebenarnya masih memiliki keluarga dan sesungguhnya ia tak memiliki masalah apapun pada dirinya, semuanya normal. Namun tak ada satu pun dari semua perawat yang pernah mendengarnya berbicara. Sebagian waktunya hanya ia habiskan untuk bersembunyi dibawah meja dan menutupi dirinya, dan sikapnya tak pernah terduga. Ia akan menyiksa dirinya sendiri jika mendengar kalimat introgatif yang mengingatkannya pada kenangan buruknya di masa lalu.

Tak ada hal apapun yang bisa menarik perhatianya keluar dari kebisuannya. Hanya ada dendam dan amarah yang menanti terpancing oleh kenangan buruknya. Inilah masalah terbesar psikiater sepertiku, terlampau bingung untuk mengambil langkah awal dan mulai menyocokan pazzel. Mengungkap kisah yang tersembunyi dari aura suram itu, bukan semakin mengurungnya dalam keterpurukan belenggu masa lalu.

Pertama, aku memperkenalkan diriku. Memintanya mendengarkan, dan terus menceritakan hal-hal yang aku alami hari ini di luar sana, mencoba menarik perhatiannya. Terus mengajaknya berbicara dan membuatnya nyaman meskipun tak ada jawaban. Waktuku telah habis untuk hari ini, aku pun berpamitan padanya. Hari-hari selanjutnya terus begitu, aku terus mengajaknya berbicara namun tetap tak ada jawaban.

Namun kali ini aku telah mempersiapkan sesuatu. Hari ini aku akan membacakan cerita padanya, aku ingin mengajaknya keluar dari tempat persembunyiannya itu. Aku memasuki ruangan putih itu, menyapanya yang sudah bersembunyi di bawah meja, dan aku pun menceritakan perjalananku menuju kesini. Kali ini ia tidak menggoyang-goyangkan tubuhnya, hanya duduk memeluk tubuhnya sembari mengintipku dari kolong meja. Lalu aku meminta diri untuk membacakannya sebuah cerita, namun tak ada jawaban pula. Aku membaca sambil meliriknya sesekali, ingin mengetahui bagaimana ekspresinya. Aku sedikit kaget megetahui ia sedang memandangiku dengan pandangan tajam. Itu bukan tatapan kebencian, ia hanya ketakutan dan bingung. Aku berhenti sejenak dan bertanya apakah ia baik-baik saja, dan haruskah aku meneruskan ceritanya. Jawabannya benar-benar kejutan bagiku. Ia mengangguk, melihat kesempatan itu aku memintanya untuk keluar dan duduk disebelahku. Namun ia tak menjawab, aku pun memita untuk bergabung dengannya dibawah meja setelah menyingkirkan kursi-kursi yang menghalangi. Sekarang aku berada dibawah meja, berusaha serendah mungkin agar tubuhku tak terantuk meja. Kembali membaca hingga waktuku habis, berpamitan dan meninggalkannya.

Hari ini pun aku akan membacakan cerita untuknya lagi, disamping itu aku juga membawa perlengkapan menggambar untuknya. Kini ia sudah terbiasa dengan kehadiranku, ia juga tak keberatan membagi ruang dibawah mejanya itu. Aku berusaha bertahan dan membacakan cerita dengan sebagai tubuhku berada diluar meja. Aku berkata bahwa tenggorokanku kering dan bertanya apakah ia mau bergantian membacakan buku cerita ini, akankah ia membaca dan berbicara?
Ia hanya memandangi buku itu. Takut jika aku salah mengambil langkah, aku pun mengalihkan topik. Aku mengeluarkan peralatan menggambar dan mempersilahkannya untuk menggambar. Ia benar-benar tenggelam dalam imajinasi yang ia gambar, aku hanya terdiam dan sesekali melihat arlojiku memastikan berapa lama lagi harus terkurung disini. Akhirnya jam sudah menunjukan pukul 11, dan itu waktu bagiku untuk pergi. Anak itu masih sibuk menggambar, aku berpamitan dan meninggalkannya dengan peralatan menggambar itu.

Hari ini pukul setengah 7 pagi, aku pergi ke rumah pemulihan seperti biasanya. Saat aku berjalan sembari meminum kopi hangat menuju ruangan Ken, nama anak lelaki itu yang tak ku tuliskan sebelumnya. Para perawat tersenyum sangat bahagia padaku tak seperti biasanya, dan salah satu dari mereka mendekat padaku. Ken bercermin dan mengerak-gerakan mulutnya, benarkah apa yang dikatakanya itu. Aku bergegas menuju ruangan Ken, benar saja anak lelaki itu sedang berusaha berbicara dengan menggerak-gerakan mulutnya. Aku menyapanya, dan ia agak terkejut melihatku. Aku dengan lembut menegur dan memujinya, bertanya akan kesulitannya. Walaupun dia terdiam, namun aku tahu ia kesulitan mengeluarkan suaranya. Aku memperlihatkan beberapa tulisan dan membacanya berharap ia akan mengikuti, lalu aku mulai membaca huruf vokal untuk membantunya. Namun ia tetap kesulitan, ia benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengeluarkan suaranya hingga urat-uratnya tertonjol keluar. Aku menyuruhnya untuk rileks dan mulai mengeluarkan suara apa saja perlahan. Ia benar-benar kesulitan, ia terus mencoba untuk berteriak bahkan lupa untuk bernafas. Aku tahu ini akan sulit bagi orang sudah bertahun-tahun tak berbicara. Ia terus mencoba tanpa henti hingga air matanya mulai mengalir. Aku iba melihat hal itu, aku memeluknya untuk menenangannya. Berbisik di telinganya bahwa ini bukan masalah besar, kita bisa melakukannya lain kali. Aku pun tersenyum menanyakan hasil dari kesibukannya kemarin, apakah ia sudah menyeesaikan gambarnya. Ia menghela nafas, lalu mengambil selembar kertas yang telah dipenuhi gambar yang tak terpikirkan oleh ku. Awalnya aku sedikit bingung dengan gambar yang berantakan itu. Itu gambar suatu kecelakaan mobil, dimana ada seorang pria yang terlindas dibawahnya. Ususnya terlontar dari dalam perutnya memenuhi jalanan, kepalanya yang terbelah memperlihatkan otaknya dengan jelas. Ia mewarnainya dengan baik, meskipun aku tak pernah melihat organ dalam manusia, tapi gambar ini menunjukannya seakan nyata. Aku ingin menanyakan siapa pria dalam gambar ini, namun aku khawatir akan memperburuk keadaan. Dengan satu kata saja, suara parau itu menjelaskan segalanya. Dad Ken mengatakan bahwa itu adalah ayahnya.

Kali ini aku berniat untuk mengunjungi keluarganya, berharap akan mendapatkan informasi lebih dari mereka. Rumahnya cukup besar namun tak terawat, saat aku memasuki rumah itu aku melihat seorang anak kecil dan seorang ibu yang tenyata adalah ibu Ken, dan ternyata Ken memiliki beberapa adik yang berumur jauh dibawahnya. Dari percakapanku dengan ibunya Ken, aku mengetahui beberapa hal. Semenjak kecil Ken dan seorang adik perempuannya telah hidup dengan ayah tirinya yang kasar, ibunya itu tak mengelak dan mengatakan bahwa suaminya itu sering menganiaya anak diluar batas. Ken adalah anak pertama dan satu-satunya anak lelaki di keluarga itu, ayah tirinya itu tak segan untuk menyiksanya tanpa mansiawi. Terakhir kali sebelum anak itu memasuki rumah pemulihan, ia memang telah mendapat penyiksaan terberatnya. Ibunya menuturkan bahwa Ken telah ditendang dengan begitu keras dibeberapa bagian tubuhnya hingga anak berusia 10 tahun tersebut memuntahkan darah bahkan kencing darah. Ia sudah tak sadarkan diri, namun ayah tirinya itu terus memukulinya dengan berbagai benda keras yang bisa ia temukan, sementara ibunya itu hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Aku bertanya dimana pria itu sekarang, dan sang nyonya rumah itu menjawab bahwa suaminya sedang bermain diluar entah minum-minum atau berjudi untuk mendapatkan uang. Berlama-lama berbincang dengan wanita yang tak bisa menyelamatkan anaknya sendiri membuatku muak. Aku pun pergi.

Aku sudah berbulan-bulan bersamanya, aku sudah sangat memahaminya. Sudah banyak kemajuan yang diperlihatkannya. Kini ia mau menata diri, pandai berbicara, dan sudah bersikap sopan. Dimataku dia sudah normal selayaknya remaja 17 tahun seumurannya. Namun ia masih belum bisa membiasakan diri untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Aku telah berusaha keras untuk mengeluarkannya dari belenggu masa lalu dan sekarang aku harus menariknya menemui dunia luar. Aku tahu ia sangat tertarik dan antusias untuk melihat dunia luar, namun ia masih memiliki ketakutan yang hanya bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri. Suatu hari saat aku telah mendapatkan izin untuk membawa Ken keluar, saat kami berkeliling kami melewati suatu SMA. Ken lalu bertanya padaku, bahwa mereka seumuran dengannya dan apa saja yang terdapat di dalam sana. Lalu aku menjelaskan semuanya, dan menanyakan apakah ia ingin kesana. Ken pun mengangguk dengan antusias, jujur saja aku sangat khawatir menyadari anak-anak remaja SMA masih labil dan mungkin takkan menerima kehadiran seseorang yang sudah lama terasingkan. Namun semangatnya itu membuatku yakin, ia bertekad akan melakukan segalanya dengan benar dan berjanji tidak akan mengecewakanku.

Setelah membantunya mengurus segalanya, aku berusaha berbicara serius dengannya, menasehatinya beberapa kali, memeberitahukan kemungkinan-kemungkinan buruk  yang mungkin terjadi suatu saat di luar sana, dan membekalinya beberapa pengetahuan untuk menyikapi segalanya. Mengetahui ia akan memulai kehidupannya yang baru membuatku bahagia sekaligus bangga, namun juga khawatir karena harus melepaskannya pergi menuju dunia luar yang kejam.



\